![]() |
| Wisua Biasa Saja (Ilustrasi by Pangestu Adika) |
Putra memulai kisah pendidikan tingginya pada 2010. Ia masuk ke salah satu kampus swasta yang cukup terpandang di Semarang. Lingkungan akademiknya menyenangkan, ia merasa masa depannya sudah punya alur yang jelas.
Di tahun pertama ia seperti melihat pintu masa depan terbuka lebar, seolah tinggal melangkah sedikit demi sedikit untuk sampai pada hidup yang ia bayangkan.
Putra salah satu mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa penuh. Dukungan yang datang membuatnya merasa diangkat dan dipercaya. Ada banyak orang yang menaruh harapan agar ia bisa menyelesaikan pendidikannya dengan baik.
Semua tampak lurus dan terang, seakan hidupnya berjalan sesuai aturan yang ideal, rapi, dan penuh peluang.
Di tengah proses itu Putra mengambil keputusan besar. Pada usia dua puluh tahun ia menikah. Ketika sebagian besar teman seusianya baru belajar cara bertahan hidup jauh dari rumah, Putra justru masuk ke dunia keluarga yang menuntut kedewasaan yang tidak sederhana.
Bagaimanapun Putra mencoba beradaptasi dengan cepat, meski di dalam dirinya ia sendiri belum selesai tumbuh sepenuhnya.
Keputusan itu mengubah banyak hal. Ritme hidupnya tidak lagi selonggar dulu dan ia mulai tertinggal di beberapa aspek.
Kegiatan yang dulu bisa ia lakukan tanpa beban kini harus ia pikirkan ulang, karena semua yang ia putuskan selalu punya konsekuensi.
Meski begitu ia tetap berusaha melanjutkan kuliahnya, meski penuh kesadaran ia tahu perjuangannya tidak lagi sama.
Ia bahkan bertahan sampai semester delapan. Tinggal penelitian terakhir. Tinggal satu langkah untuk meraih gelar yang sudah ia cita citakan sejak awal. Namun langkah itu berhenti. Penelitiannya tidak pernah benar benar ia lanjutkan dan akhirnya ia tercatat mengundurkan diri.
Dibayang-bayangi Rasa Bersalah
Meski bertahun tahun berlalu, bagian hidup itu tidak pernah hilang sepenuhnya. Ada perasaan ganjil yang terus muncul sesekali. Seperti ada pintu yang tidak ia tutup dengan benar.
Ia tahu ia berjalan menjauh, tetapi ia tidak pernah benar benar berpamitan dari masa pendidikan yang seharusnya ia selesaikan.
Rasa itu makin kuat ketika ia mengingat kenyataan bahwa istrinya sudah dua kali wisuda. S1 lalu profesi perawat. Semua itu terjadi jauh sebelum mereka menikah. Sementara Putra masih memegang ijazah SMK dan tidak beranjak sejak bertahun tahun lalu.
Perbandingan itu tidak pernah diucapkan siapa pun tetapi terasa mengganjal dalam dirinya. Seperti ia selalu berada satu langkah di belakang tanpa pernah benar benar mengejar.
Ia membayangkan ketika anak-anaknya kelak sudah besar lalu bertanya mengapa ayah tidak sarjana. Ia bisa saja menjawab dengan banyak alasan. Namun bagimana kalau pejelasan itu justru akan menjadi alasan mereka tidak mau sekolah.
Yang paling berat adalah mengingat orang orang yang dulu mendukung dan memperjuangkannya. Mereka yang memberinya banyak kesempatan termasuk beasiswa.
Ia merasa membawa hutang batin yang tidak tertagih. Bukan hutang uang, tetapi hutang kepercayaan. Hutang yang membuatnya selalu merasa masih ada yang belum dibereskan.
Pada 2021 rasa itu memuncak. Ia mulai gelisah. Bukan gelisah ringan yang bisa ditepis atau dialihkan dengan pekerjaan. Ini gelisah yang muncul tiba-tiba setiap kali melihat suana pendidikan. Ada luka lama yang seperti disentuh terus menerus tanpa ia minta.
Akhirnya, 2022 ia memutuskan untuk kuliah lagi. Ia masuk sekolah tinggi ilmu komunikasi di Semarang. Tidak banyak pertimbangan. Tidak banyak hitungan untung rugi. Ia hanya ingin menuntaskan sesuatu yang sejak lama tertinggal. Keputusannya bukan soal mengejar gelar, tetapi soal menenangkan diri.
Menjadi mahasiswa lagi pada usia yang tidak lagi muda baginya terasa janggal. Tetapi ia tetap berjalan. Ia mengerjakan tugas tanpa banyak drama. Ia belajar berdampingan dengan mahasiswa yang jauh lebih muda. Ia mengulang pengalaman lama, tetapi kali ini ia membawa beban yang berbeda.
Tahun 2025 semua prosesnya selesai. Ia siap wisuda. Bagi banyak orang, wisuda adalah momen besar. Hari yang penuh perayaan, foto keluarga, bunga, dan makan-makan. Namun Putra tidak merasakannya seperti itu. Perasaannya datar, tenang, dan biasa saja. Tidak ada letupan kegembiraan seperti kebanyakan.
Teman temannya tampak semangat. Ada yang memesan foto studio, ada yang merayakan di restoran, ada yang sibuk memilih pakaian terbaik. Putra hanya menatap semuanya seperti penonton. Ia tidak merasa menjadi bagian dari euforia itu. Ia datang sebagai seseorang yang ingin menyelesaikan urusan, bukan merayakan kemenangan.
Ia merasa itu wajar. Wisuda di usia tiga puluh lebih bukan sesuatu yang membuatnya merasa hebat. Apalagi ketika ia tahu banyak teman seangkatannya dulu sudah menjadi dosen, pejabat, guru, pemilik usaha, hingga anggota dewan. Mereka sudah jauh berlari, sementara ia baru sampai di garis yang mereka tinggalkan bertahun tahun lalu.
Saat duduk di barisan wisudawan ia sadar dirinya jauh lebih tua dari kebanyakan yang hadir. Rasanya aneh. Rasanya seperti menutup bab yang orang lain sudah tutup lama sekali.
Namun ia sempat berpikir bahwa mungkin ia memang terlambat, tetapi ia juga menyadari bahwa terlambat tidak selalu berarti gagal.
Baginya, wisuda ini bukan perayaan. Ini soal penyelesaian. Ia menutup hutang lamanya. Ia membereskan kegelisahan yang ia simpan sendirian selama bertahun tahun.
Bagi putra, keputusan mudanya bukan sesuatu yang harus disesali. Toh bukan sesuatu yang hina atau negatif. Cukup jadikan pelajaran tentang bagaimana mengambil keputusan.
Hari wisudanya bukan hari besar. Bukan hari penuh sorak sorai. Tetapi itu hari yang membuatnya bisa bernapas lebih ringan. Untuk pertama kalinya sejak lama ia merasa selesai.
Bukan sempurna, hanya selesai. Dan itu sudah cukup untuk membuat langkah berikutnya terasa lebih tenang.
Pangestu Adika.

