![]() |
| Kendaraan mogok akibat banjir (Ilustrasi oleh Dika) |
Beberapa bulan terakhir, masyarakat Semarang dibuat kegerahan oleh musim panas yang tidak tanggung-tanggung. Kipas angin seolah bekerja lembur tanpa henti. Belum sempat pulih dari panas, Oktober 2025 ini datang membawa hujan deras nyaris setiap hari.
Lagi-lagi, kota Semarang tergenang. Air datang dari berbagai arah, menutup jalan, menggenangi rumah, membuat sebagian masyarakat harus berjibaku dengan ember, sapu, dan harapan. Bagi banyak warga, siklus seperti ini sudah semacam hal yang lumrah, seperti musim yang datang bergantian, hanya saja bedanya kali ini waktunya sedikit lebih lama karena banjir tidak segera surut.
Akibat genangan ini, banyak aktivitas terhenti. Ada yang memilih untuk menunggu air surut, ada pula yang tetap memaksa beraktivitas, menerobos genangan demi urusan pekerjaan.
Saya termasuk tipe yang setengah-setengah. Kalau air mulai agak surut, saya keluar untuk beraktivitas. Tapi kalau ketinggiannya mulai menyentuh lutut, ya sudah, rumah jadi pilihan terbaik. Lagipula, mau di kantor atau di rumah, posisi saya tetap sama, di depan komputer.
Namun kali ini berbeda. Sebagian besar pekerjaan sudah selesai tepat waktu, dan saya punya sedikit waktu luang untuk leyeh-leyeh. Klekaran di kasur sambil mendengarkan suara hujan, saya merasa tenang sekaligus... gabut.
Dari kegabutan inilah muncul pikiran-pikiran liar yang sulit dikendalikan. Salah satunya tentang kota Semarang itu sendiri.
Entah kenapa, pikiran saya melayang ke proyek besar pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke IKN. Seingat saya, salah satu alasan yang sering disebutkan adalah karena Jakarta sudah tidak kondusif lagi sebagai ibu kota, terlalu padat, macet, dan banjir.
Dari berbagai berita dan komunikasi yang saya tangkap, alasan itu seolah menjadi titik tolak untuk membangun kota baru yang dianggap lebih ideal, Ibu Kota Nusantara.
Lantas tiba-tiba muncul pertanyaan kecil di kepala saya: kalau karena macet dan banjir ibu kota negara bisa dipindah, maka ibu kota Jawa Tengah (Semarang) mungkin juga layak dipertimbangkan untuk berpindah.
Semarang, di antara panas dan banjirnya, juga punya cerita macetnya sendiri. Memang tidak separah Jakarta. Banyak ruas jalan yang masih aman, lancar, dan menyenangkan dilewati. Tapi di sisi lain, ada juga titik-titik krusial yang membuat siapa pun bisa kehilangan kesabaran.
Pemuda, Tlogosari, Kaligawe semua punya cerita sendiri tentang macet yang kadang muncul tanpa alasan jelas. Pokoknya, kemacetan di Semarang ini memang tidak parah, tapi cukup untuk membuat pengendara untuk agak misuh.
Masih di dalam lamunan yang sama, saya berpikir mungkin, status Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah memang sudah saatnya dipertimbangkan ulang. Bukan karena tidak cinta, tapi karena realistis saja. Kota ini mulai terlalu penuh, terlalu panas, dan terlalu sering kebanjiran.
Mungkin sudah waktunya memberi kesempatan pada kota lain yang kadar kondusivitasnya masih cukup baik, setidaknya yang minim dari tiga hal itu macet, panas, dan banjir.
Lantas kota mana yang layak menggantikan posisi Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah? Saya yakin, banyak. Bahkan mungkin terlalu banyak. Tapi top of mind saya langsung jatuh pada satu nama, Kabupaten Temanggung.
Secara geografis, posisinya hampir berada tepat di tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah, bahkan nyaris di tengah Pulau Jawa. Kalau dilihat di peta, letaknya sangat strategis dan cukup adil jika dijadikan pusat pemerintahan provinsi.
Dari sisi budaya dan kearifan lokal, Temanggung juga relatif kaya dan kuat. Udara sejuk, panorama gunung, dan masyarakatnya yang masih menjunjung nilai-nilai kebersahajaan. Belum lagi dua komoditas andalan yang jadi kebanggaan, kopi dan tembakau. Bayangkan saja, dua hal yang bisa menenangkan pikiran sekaligus menguatkan semangat hidup, mungkin memang ini yang kita butuhkan dari sebuah ibu kota.
Bagaimana dengan kota lain? Pasti banyak yang jauh lebih layak, lebih siap, atau lebih modern. Tapi saya memilih Temanggung bukan karena data statistik semata. Saya mengenal Temanggung bukan hanya dari kulitnya, tapi juga sampai jidor dan sikak-nya.
Ada sesuatu di Temanggung yang terasa tenang sekaligus hidup. Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk kota besar yang semakin tidak ramah, ketenangan seperti itu adalah kemewahan baru yang layak diperjuangkan.
Tentu saja, semua itu hanya hasil dari kegabutan saya di tengah genangan air dan sisa hujan yang belum juga reda. Jangan dianggap serius apalagi dibawa ke meja parlemen, saya sendiri tidak sedang berambisi memindahkan ibu kota.
Anggap saja ini pengandaian kecil yang muncul dari lamunan unfaedah di atas kasur. Tapi tidak ada salahnya juga jika kelakar ini bisa menjadi kesadaran kolektif, bahwa mungkin banjir di Semarang bukan semata-mata bencana alam begitu saja.
Barangkali genangan itu adalah manifestasi dari banyak hal yang selama ini kita abai, dari kebiasaan membuang sampah sembarangan, tata kota yang belum maksimal, atau mungkin juga proyek-proyek besar yang sering kali lebih berpihak pada beton?
Dika.

.png)