Sekadar Supaya Tidak Pamer Saja Harus Diancam Pemecatan

0
Flexing (Ilustrasi oleh Dika)


Belakangan seringkali kita jumpai berita tentang larangan pegawai, terutama ASN, untuk tidak memamerkan kemewahan di media sosial. Beberapa pimpinan lembaga hingga kepala daerah bahkan sampai mengancam akan menjatuhkan sanksi berat, termasuk pemecatan, jika ada yang melanggar. Tujuannya baik, menjaga citra dan mencegah kecemburuan sosial.


Fenomena pamer kepunyaan di media sosial bukan hal baru. Banyak pegawai, baik swasta, maupun negeri, seolah berlomba menampilkan gaya hidup glamor. Mobil mewah, rumah megah, plesiran ke luar negeri, atau barang-barang bermerk yang nilainya lumayan.


Semua dipajang seolah menjadi simbol keunggulan hidup. Padahal di luar sana, banyak orang yang untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok seari-hari saja masih harus berjuang keras setiap hari.


Apalagi jika yang pamer itu adalah ASN (Aparatur Sipil Negara), rasa risih dan cemburu di masyarakat jadi berlipat. Wajar saja, karena mereka bekerja di lembaga publik, digaji oleh negara, at least itu dari pajak alias uang rakyat dan diharapkan bisa jadi teladan. Tapi yang muncul justru sebaliknya.


Tontonan kemewahan dari seseorang yang seharusnya hidup sederhana malah menimbulkan luka sosial. Apalagi kalau dalam keseharian mereka juga seringkali menunjukkan arogansi dalam pelayanan publik, atau perilaku tidak pantas di jalan maupun di ruang sosial lainnya.


Keresahan ini bukan soal perilaku pamernya, melainkan untuk sesuatu yang seharusnya lahir dari kesadaran pribadi justru harus dipaksakan lewat ancaman pemecatan? Apakah sedalam itu krisis moral yang sedang kita hadapi, sampai-sampai untuk bersikap wajar saja perlu ditakuti dengan kehilangan pekerjaan?


Ancaman bisa jadi memang efektif untuk sementara waktu. Mereka mungkin akan berhenti mengunggah foto liburannya, menyembunyikan mobilnya, atau menahan diri dari barang mahalnya. Tapi apakah itu benar-benar menyentuh inti dari intinya?


Mungkin orang bisa saja berhenti untuk memposting, tapi belum tentu bisa berhenti dari merasa butuh pengakuan. Dan selama kebutuhan itu masih ada, pamer hanya akan berpindah tempat, mencari bentuk dan cara baru.


Merujuk dari beberapa sumber kajian, masalah ini sebenarnya bukan cuma soal gengsi-gensian. Tapi soalan ini lebih condong pada hilangnya kesadaran sosial. Tentang bagaimana seseorang tidak lagi mampu menempatkan diri di tengah realitas masyarakat yang beragam. Tentang bagaimana rasa malu dan empati pelan-pelan memudar digantikan oleh keinginan untuk diakui, dipuji, dan dianggap keberadaannya.


Larangan pamer mestinya tidak perlu sampai menjadi kebijakan resmi. Cukup dengan kesadaran etika dan empati sosial. Tapi kenyataannya, kita hidup di masa ketika nilai-nilai seperti itu makin sulit tumbuh tanpa paksaan. Mungkin karena lingkungan sosial yang semakin kompetitif, atau karena media sosial sudah mengubah cara kita memaknai kebahagiaan dan kesuksesan.


Ironisnya, ancaman pemecatan hanya menutupi gejala, bukan menyembuhkan penyakitnya. Sekali lagi kita bisa saja melarang orang untuk memamerkan kekayaan, tapi tidak bisa melarang orang untuk merasa perlu menunjukkan diri. Selama ukuran harga diri masih ditentukan oleh seberapa mewah hidup yang tampak, maka aturan seketat apapun tidak akan mengubah banyak.


Sekali lagi ini bukan soal ASN atau pegawai swastanya. Ini soal kita hidup di mana mendapatkan like dan komentar dari terlihat kaya dan unggul di media sosial menjadi sumber kebahagiaan yang nagih. Dan kalau untuk berhenti pamer saja kita harus diancam, mungkin itu tanda bahwa kesadaran moral kita sedang benar-benar kehilangan tempatnya.


Yang dibutuhkan sekarang bukan ancaman, tapi keteladanan. Bukan larangan, tapi pendidikan nilai yang hidup di keseharian. Karena kesederhanaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, tapi sesuatu yang tumbuh dari kesadaran bahwa tidak semua hal perlu dilihat orang.


Dari mana keteladanan itu? dari mana pelajaran itu? dan dari mana pendidikan nilai itu? Barangkali ini bisa jadi bahan diskursus kita semua. Komen di bawah ya.


Dika.


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)