![]() |
| Ngebut dan Blayer (Ilustrasi oleh Dika) |
Wacana mengenai kendaraan listrik di Indonesia semakin hari semakin gencar. Mulai dari iklan, pameran, sampai kebijakan pemerintah yang memberi insentif, semua diarahkan agar masyarakat perlahan beralih dari bahan bakar minyak ke listrik.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan adopsinya masih sangat rendah. Angkanya belum menyentuh populasi yang signifikan, bahkan masih bisa dibilang hanya sepersekian persen dari total pengguna kendaraan bermotor di negeri ini. Tentu ini bisa dimaklumi.
Tren kendaraan listrik memang baru saja muncul beberapa tahun terakhir, dan masih dianggap "barang baru" bagi sebagian orang.
Isu yang dikedepankan adalah soal energi baru dan terbarukan, tentang bagaimana kendaraan listrik dianggap sebagai representasi gerakan go green. Penulis pribadi kadang skeptis dengan jargon ini, tapi tetap berharap listrikisasi kendaraan tidak berhenti di tataran simbol.
Dalam beberapa kesempatan, penulis sengaja mewawancarai penyitas (sebut saja begitu) orang-orang yang tidak tergoda kendaraan listrik. Mereka ini adalah mereka yang tetap memilih kendaraan motor bensin dan terbilang baru saja membeli tunggangan dengan harga cukup tinggi.
Kalau dibandingkan, mungkin uang yang mereka keluarkan sebenarnya bisa untuk membeli dua unit motor listrik. Dan ini adalah awal mula pertanyaan besar itu muncul, mengapa mereka enggan pindah ke kendaraan listrik?
Jawabannya ternyata cukup mengejutkan. Dari sekian banyak alasan, ada satu hal yang menempati posisi paling tinggi, motor listrik tidak bisa blayer!
Ya, aktivitas sederhana memainkan gas kendaraan agar mesin meraung, yang sering dianggap sepele, ternyata memiliki makna tersendiri bagi sebagian besar pengguna motor bensin.
Blayer, dalam pengertian mereka, bukan sekadar memutar gas tanpa tujuan. Ia adalah seni mengeluarkan suara mesin, ritme, dan getaran yang bagi mereka punya nilai estetika tersendiri. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai seni mesin.
Lebih jauh, blayer ternyata memiliki fungsi sosial. Dalam wawancara mendalam, beberapa orang menyebut blayer sebagai bentuk komunikasi. Kalau ketemu teman di jalan misal, cukup blayer sekali-dua kali, itu sudah dianggap sapaan akrab. Klakson memang bisa dipakai, tapi rasanya tidak seestetik bahasa gas.
Ada juga dimensi unjuk diri. Blayer di hadapan sesama pecinta otomotif bisa dianggap sebagai tanda "skill" atau bahkan keberanian. Suara mesin yang meraung bisa menjadi simbol jati diri, sama seperti orang lain memamerkan sepatu atau pakaian. Di titik ini, blayer bukan lagi sekadar aktivitas teknis, tapi bagian dari identitas.
Tentu saja, blayer juga bisa memicu konflik. Dalam beberapa kasus, blayer yang dilakukan pada momen salah justru bisa dimaknai sebagai tantangan atau provokasi. Tidak jarang, baku jotos seringkali terjadi akibat salah tempat blayer. Meski begitu, risiko itu justru bagian dari sensasi yang menantang.
Menariknya, ada pula dimensi romantisme dalam fenomena blayer. Beberapa narasumber mengaku, blayer digunakan sebagai cara untuk menarik perhatian lawan jenis. Getaran suara mesin dianggap punya daya pikat tertentu, terutama bagi mereka yang tumbuh di lingkungan dengan kultur blayer-blayer.
Semua fungsi itu hilang ketika berbicara tentang motor listrik. Suara senyap, gerakan halus, dan minim getaran membuat motor listrik kehilangan "bahasa" yang selama ini dipakai para pengendara untuk berinteraksi. Bagi mereka, naik motor listrik ibarat minum kopi tidak pakai aaahhh.
Faktor inilah yang membuat resistensi terhadap kendaraan listrik menjadi unik. Ia bukan semata-mata perkara harga atau infrastruktur, melainkan juga persoalan budaya. Masyarakat masih sulit membayangkan dunia otomotif tanpa raungan mesin, tanpa blayer yang selama ini jadi bagian paling identik.
Tentu saja ada alasan lain yang lebih rasional. Harga motor listrik masih relatif tinggi, performanya masih dipertanyakan, dan infrastruktur pengisian daya belum merata. Belum lagi bagi ojek online atau kurir, motor listrik dianggap belum sebanding dengan kebutuhan kerja mereka.
Namun, jika ditarik ke akar persoalan, penolakan terhadap kendaraan listrik ternyata banyak bersinggungan dengan aspek psikologis dan emosional. Motor bukan sekadar alat transportasi, tapi simbol gaya hidup. Blayer adalah salah satu manifestasi dari simbol itu, yang tidak bisa digantikan oleh teknologi senyap ini.
Cepat atau lambat, masyarakat akan diarahkan untuk menggunakan kendaraan listrik. Pertanyaannya, bagaimana cara mengganti "sensasi blayer" yang jelas tidak akan didapatkan pada kendaraan listrik?
Dengan penuh optimisme, penulis berharap di masa depan produsen menambahkan fitur suara mesin buatan, sekadar memenuhi kebutuhan emosional ini. Sampai hari itu tiba, alasan klasik "tidak bisa blayer" akan terus jadi tameng bagi banyak orang untuk tetap setia pada motor bensinnya.

