| Capek kerja (ilustrasi by Pangestu Adika) |
Sepahit apapun realitanya, walau tidak membuat kita kaya raya, setidaknya perusahaan tempat kita bekerja saat ini membuat kita tetap hidup. Dari situlah dapur kita tetap bisa mengepul, anak tetap bisa sekolah, istri tetap bisa senyum, Iuran warga tetap terbayar, pulsa tetap terbeli, listrik dan air tidak sampai di putus.
Tidak ada pekerjaan yang ideal, seaman-amannya ASN, senyaman-nyamannya pegawai BUMN, seideal-idealnya karyawan di perusahaan bonafid hingga seenjoy-enjoynya freelancer digitalpun tetap saja punya ketidaknyamanannya sendiri-sendiri. Intinya sama, kita bekerja ikut dan untuk entitas yang secara kemampuan lebih besar dari kita. Besar ataupun kecil, dimanapun tekanan akan tetap selalu ada. Hanya beda bentuk.
Kalau masih berpikir "kita yang bekerja keras, bosnya yang kaya raya" artinya belum dewasa. Sesederhana anak kecil yang malas berangkat sekolah lalu bilang "ayah sama ibu enak ya gak sekolah, gak pernah mengerjakan PR, gak pernah piket kelas". Ya persis seperti itu situasinya.
Saya tidak sedang membela siapapun, baik bos maupun pekerja seperti saya ini. Ini bukan soal membela siapa, ini soal kesadaran diri. Tidak sekali dua kali saya mendapati sesama "pekerja" menggerutu dan mengeluh soal capeknya bekerja. Seringkali muncul rencana mau resign, mau keluar dan mencari pekerjaan baru yang lebih oke.
Boleh, dan saya selalu mendukung siapapun teman maupun saudara untuk maju dan lebih baik. Namun sebelum ke arah situ, tidak ada salahnya kita mencoba untuk berpikir sejenak.
Kalau hanya karena capek, pekerjaan mana yang tidak capek? kalau hanya karena tekanan, pekerjaan mana yang tidak ada tekanan? kalau soal salary, pekerjaan mana yang bisa langsung kasih salari puluhan juta?
Oke, kalaupun memang dibeberapa situasi ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang minim tekanan, kerja santai, gaji besar.
Tetapi perlu kita sadari juga, berapa besar ketersediaan pekerjaan yang demikian itu? at least kualifikasi apa yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang seperti itu?
Tulisan ini berangkat dari narasi-narasi yang muncul dari konten-konten di media sosial. Intinya soal "kita yang bekerja keras, bosnya yang kaya raya" dan seringkali selalu dikaitkan dengan mental health. Sebuah konsep kesehatan yang bahkan saya pun tidak terlalu paham.
Ngomong-ngomong soal kontan, mental health dan media sosial. Disaat yang sama juga muncul narasi-narasi yang justri datang dari dimensi perusahaan. Ini yang menjadi sorotan adalah mengenai etos kerja Generasi muda yang dianggap kurang greget. Selain masalah etos, banyak juga soal isu kompetensi.
Bayangkan lulusan SLTA, sekadar 20 dibagi 4 saja tidak bisa. Bagaimana coba? Tapi perlu digaris bawahi, ini bukan soal 20 dibagi 4-nya, ini soal bagaimana kompetensi kita menjawab kualifikasi ketersediaan kerja yang kita inginkan. Masih berharap lebih kah dari kompetensi yang ala kadarnya ini?
Jadi sebelum kita menuntut dunia kerja untuk lebih ramah, coba kita tanya dulu diri sendiri, seberapa layak kita untuk dituntut lebih baik? Seberapa jauh kita menyiapkan diri untuk bersaing?
Jangan-jangan yang kita sebut "toxic workplace" itu sebenarnya hanyalah cermin yang menampakkan kurangnya kemampuan dan ketahanan diri kita menghadapi tekanan. Tidak semua kritik dari atasan berarti pelecehan, tidak semua teguran berarti perundungan. Kadang itu bentuk koreksi yang tidak enak, tapi perlu.
Saya tidak menutup mata bahwa ada perusahaan yang betul-betul tidak manusiawi. Ada tempat kerja yang eksploitatif, seenaknya menambah beban tanpa kompensasi, dan tidak peduli dengan kesejahteraan karyawan. Tapi kan tidak semua tempat seperti itu.
Tapi perlu juga kita sadari bahwa dunia kerja modern memang bergerak dalam logika keuntungan, bukan kesejahteraan. Perusahaan pada dasarnya dibangun untuk tumbuh, bukan untuk menyejahterakan semua orang di dalamnya secara merata. Bos, manajer, hingga pemilik modal pun tidak sepenuhnya bebas dari tekanan.
Mereka juga bagian dari sistem yang lebih besar, sistem yang menilai keberhasilan dari angka dan efisiensi, bukan dari seberapa bahagia karyawannya. Jadi kadang, bukan semata bos yang jahat atau pekerja yang malas, tapi sistem yang memang menuntut semua pihak untuk terus berlari.
Di sinilah sering muncul rasa lelah yang tidak selalu bisa dijelaskan. Kita bekerja bukan hanya melawan waktu dan target, tapi juga melawan sistem yang membuat manusia diukur dari produktivitasnya.
Di dalam logika itu, yang lambat dianggap tertinggal, yang lelah dianggap kurang tangguh, dan yang butuh waktu istirahat dianggap tidak cukup kompetitif. Padahal manusia bukan mesin. Tapi sistem kerja modern seringkali memperlakukan manusia seolah-olah bisa terus beroperasi tanpa henti.
Kita sering bicara tentang keseimbangan antara kerja dan hidup, tapi sering juga lupa bahwa hidup itu sendiri tidak selalu seimbang. Ada masa kita di atas, ada masa kita di bawah. Ada bulan-bulan di mana saldo rekening terasa aman, tapi ada juga saat di mana kita harus menunda banyak hal.
Hidup memang begitu, dan pekerjaan bagian dari dinamika itu. Kalau setiap ketimpangan kecil dianggap kegagalan, maka tidak akan ada lagi ruang untuk belajar menerima proses.
Generasi muda sekarang, terutama Gen-Z, punya keberanian untuk bicara. Itu hal baik. Mereka lebih terbuka soal perasaan, lebih cepat menyuarakan ketidakadilan, dan lebih peka terhadap diri sendiri. Tapi di sisi lain, keberanian itu perlu diimbangi dengan kesiapan-kesiapan teknis maupun non teknis yang matang.
Banyak yang bilang "saya butuh tempat kerja yang bisa memahami saya". Tunggu dulu, dunia kerja bukan tempat terapi. Dunia kerja tempat kita memberi nilai lewat kontribusi, bukan sekadar mencari pengertian.
Pemahaman akan datang setelah hasil kita terbukti. Dunia kerja tidak selalu salah karena keras, kadang memang keras karena itulah sifat dasarnya.
Hampir semua orang pernah merasa bosan dengan pekerjaannya. Bedanya, sebagian memilih bertahan karena tahu setiap tempat punya tantangan, sebagian lagi memilih pergi karena merasa waktunya mencari suasana baru.
Tidak ada yang salah dari keduanya, asal keputusan itu dibuat dengan kepala dingin, bukan karena emosi sesaat. Yang salah adalah ketika kita berharap tempat baru bisa menghapus semua masalah lama, padahal masalahnya bukan di tempat, tapi di cara kita menyikapi.
Saya pun masih sering mengeluh. Namanya juga manusia. Tapi di sela-sela keluhan itu, saya belajar melihat sisi lain. Bahwa dari pekerjaan inilah dapur saya bisa tetap mengepul, listrik tidak padam, dan anak-anak bisa sekolah. Mungkin tidak membuat saya kaya, tapi cukup untuk membuat saya terus hidup. Dan buat saya, itu sudah lebih dari cukup untuk disyukuri.
Toh bekerja tidak pernah benar-benar membuat siapa pun puas. Yang bergaji kecil ingin naik, yang bergaji besar ingin bebas waktu, yang sudah bebas waktu ingin stabilitas.
Tidak ada habisnya. Jadi daripada sibuk membandingkan, lebih baik kita terima bahwa bekerja memang bagian dari proses bertahan hidup.
Saya tidak sedang mengatakan kita harus pasrah. Kita boleh menuntut, boleh bermimpi lebih, boleh mencari peluang yang lebih baik. Tapi sebelum menuntut sistem, perbaiki dulu diri. Naikkan kapasitas, perbanyak kemampuan, latih kesabaran. Dunia kerja keras bukan karena benci, tapi karena memang butuh orang-orang yang tahan lama di dalamnya.
Karena sehebat apapun teori tentang keseimbangan hidup dan kerja, ujungnya tetap satu, kita bekerja untuk hidup. Tidak lebih, tidak kurang. Dan kalau dari pekerjaan itu kita bisa tetap berdiri, bisa menafkahi keluarga, itu sudah kemenangan kecil yang layak dihormati.

suara orang yang sdh gk bs kemana-mana. bergantung pd orang perusahaan skrg
BalasHapusHehe tau aja. udah berumur, kalo gak nyeriusin yang udah ada mau apa lagi
Hapus