![]() |
| Belajar dunia digital (Ilustrasi by Pangestu Adika) |
Kadang saya merasa dunia ini bergerak terlalu cepat. Belum selesai memahami satu hal, sudah muncul hal baru lagi. Baru tahu soal AI, eh, sudah keluar lagi versi yang lebih canggih. Baru belajar pakai satu aplikasi, muncul lagi lima penggantinya. Kadang bikin capek, iya.
Kita hidup di masa paling terbuka sepanjang sejarah manusia. Mau belajar apa saja, bisa. Mau belajar di mana saja, bisa. Bahkan banyak yang gratis.
Ya, tetap butuh modal, tentu saja. Setidaknya paket data. Tapi kalau cuma 30 ribu dapat 10 GB untuk sebulan, itu investasi yang cukup sepadan. Dengan modal segitu, kita bisa mengakses ribuan video pembelajaran, tutorial, kelas daring, buku digital, dan ilmu yang dulu cuma bisa didapat lewat pendidikan formal yang berbiaya.
Sekarang semua orang bisa jadi murid tanpa sekolah. Bisa punya guru tanpa pernah ketemu. Itu keajaiban zaman ini dan sayangnya, masih banyak yang belum benar-benar tahu cara memanfaatkannya.
Saya pernah baca, di era industri dulu, siapa yang punya pabrik dan modal besar, dia yang menang. Berbeda dengan sekarang, siapa yang punya akses pengetahuan, dia yang menang.
Internet sudah membuka pintu besar untuk siapa pun yang mau belajar. Tidak peduli dari kota kecil, dari keluarga sederhana, atau bahkan belum punya perangkat canggih sekalipun.
Saya tahu banyak anak muda yang "berangkat dari nol" dan sekarang bisa menikmati hasil kerja digital mereka bahkan dibayar dalam dolar. Bukan karena mereka jenius, tapi karena mereka tahu cara belajar, cara memanfaatkan internet.
Ada yang cuma suka motret, lalu belajar komposisi dan editing lewat YouTube. Foto-fotonya diunggah ke situs microstock seperti Shutterstock atau Adobe Stock. Tiap kali fotonya diunduh, dia dapat bayaran. Hanya sepersekian persen saja memang, tapi kalau rutin dan konsisten, hasilnya lumayan. Itu baru satu bidang.
Saya punya teman yang unik. Kerjanya "hanya" cropping atau menghapus background foto, merapikan tepi objek, hasilnya rapi dan bersih, bahkan gambar rambut berantakan pun bisa dia potong dengan presisi.
Awalnya iseng. Dia buka jasa di Fiverr dan di Dribbble. Siapa sangka, pesanan datang dari luar negeri. Perusahaan kosmetik, toko online, hingga agensi iklan yang butuh foto aset siap pakai. Lama-lama, ordernya ramai. Bahkan pernah sampai menolak beberapa permintaan karena tidak sanggup mengerjakan semuanya sendirian.
Poinnya, tidak ada keahlian yang terlalu kecil. Kalau kita bisa melakukannya dengan baik, dunia siap membayar. Bedanya cuma satu, apakah kita memanfaatkan peluang yang ada, atau hanya menontonnya lewat layar ponsel.
Tidak sedikit orang masih menganggap AI itu seperti ancaman. "Nanti manusia digantikan robot," begitu katanya. Padahal, AI bukanlah pengganti, justru dialsh alat tempur yang powerfull.
Seperti aplikasi ChatGPT atau Gemini misal, yang kalau dipakai dengan benar, bisa mempercepat proses kerja berkali-kali lipat.
AI bisa bantu riset, menulis ide, bikin konsep visual, bahkan mempermudah pekerjaan administratif yang biasanya makan waktu. Tapi syaratnya satu, kita hanya harus tahu cara memanfaatkannya.
AI bukan musuh, tapi perpanjangan tangan manusia. Yang tertinggal bukan karena kalah pintar, tapi karena malas belajar cara baru bekerja.
Sekarang orang yang melek AI punya keunggulan besar. Seorang penulis bisa jadi lebih produktif karena punya asisten digital. Desainer bisa brainstorming lebih cepat. Marketer bisa analisis tren tanpa harus lembur. Tapi ya, lagi-lagi, semua itu cuma bisa terjadi kalau mau belajar.
Zaman Ini Menghapus Banyak Alasan
Dulu, orang bisa beralasan "Saya nggak punya uang buat sekolah."
Sekarang, kursus gratis berserakan di mana-mana.
Dulu, orang bilang "Saya nggak punya waktu."
Sekarang, bisa belajar dari ponsel sambil tiduran.
Dulu, orang takut tidak ada yang mau ngajarin.
Sekarang, guru-guru terbaik dunia mengajar di YouTube dengan cuma-cuma.
Zaman ini nyaris menghapus semua alasan klasik. Tinggal satu alasan yang tersisa, mau atau tidak.
Upgrade Diri
Siapa bilang upgrade diri itu buat orang yang kerja di industri digital. Padahal tidak juga. Guru juga bisa upgrade diri dengan belajar metode mengajar baru. Koki bisa belajar plating dan teknik masak modern dari luar negeri lewat video. Pegawai kantoran bisa belajar komunikasi, manajemen waktu, atau bahkan public speaking.
Prinsipnya adalah semua pekerjaan bisa naik kelas kalau kita tahu apa yang perlu ditingkatkan.
Dan di era sekarang, tidak ada bidang yang statis. Semua berubah cepat sekali. Yang dulu tidak mungkin, sekarang bisa. Yang dulu harus ke luar negeri buat belajar, sekarang cukup buka YouTube. Yang dulu harus kerja kantoran biar punya penghasilan, sekarang bisa kerja dari kamar dengan laptop dan koneksi internet.
Zaman sekarang ini ibarat pintu besar yang terbuka lebar. Siapa pun boleh masuk. Tapi sayangnya tidak semua orang mau melangkah.
Sebagian sibuk mengeluh perubahan terlalu cepat. Sebagian lagi sibuk menyesuaikan diri, belajar, mencoba, bereksperimen, jatuh, lalu bangkit lagi. Dan biasanya, yang kedua inilah yang akhirnya menemukan tempatnya.
Kita hidup di masa yang luar biasa. Dunia terbuka, ilmu tersedia, peluang bertebaran. Tinggal kita manfaatkan saja.
Jadi kalau ada satu hal yang perlu kita upgrade hari ini, bukan cuma skill atau alat, tapi cara berpikir. Karena di zaman yang bergerak secepat ini, kecepatan belajar jauh lebih penting daripada kecepatan dunia itu sendiri.
Pangestu Adika

.png)